Rabu, 18 Maret 2015

MAKALAH LINGKUNGAN MARITIM | TAMBANG UHO

MAKALAH WAWASAN KEMARITIMAN
LINGKUNGAN MARITIM







OLEH :
KELOMPOK                          :  5 (LIMA)
NAMA                                  :   1.  SRI WULANDARI AGUSTINI (F1B214061)
                                                2.MUH. ZIGAR AL-GHAZALI
                                                3.LA ODE JUMAR
                                                4. FIANA
                                                5. ASDIN
                                                6. RATNO RIFAI
                                                7. SUWARDI
JURUSAN                             :    TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS                            :    FITK

UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

            Sebagai negara kepulauan dengan 80 % wilayah laut dan 20 % wilayah darat, potensi ancaman terhadap kedaulatan dan wilayah Indonesia berada di laut. Presentase ancaman ini menjadi semakin tinggi karena posisi geografi Indonesia berada pada lalu lintas perdagangan dunia. Setiap hari ratusan bahkan ribuan kapal baik kapal dagang maupun militer melintas di perairan Indonesia melalui Sea Lanes of Communication (SLOC) serta Sea Lines of Oil Trade (SLOT). Laut Indonesia memiliki arti yang sangat penting bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu, laut sebagai media pemersatu bangsa, laut sebagai media perhubungan, laut sebagai media sumber daya, laut sebagai media pertahanan dan keamanan, serta laut sebagai media diplomasi. Konsep pemikiran tersebut sangat diperlukan bangsa Indonesia agar tidak menjadikan dan menganggap laut sebagai rintangan, kendala atau hambatan sebagaimana dihembuskan oleh pihak-pihak asing yang tidak menginginkan kemajuan bagi bangsa dan negara Indonesia.
Sesungguhnya sejak jaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, bangsa Indonesia merupakan bangsa berjiwa bahari yang memiliki filosofi "hidup dengan dan dari laut". Pada jaman kedua kerajaan tersebut, kebudayaan maritim dan arus perdagangan di laut mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini dilaksanakan pula oleh Belanda yang menjajah dan menguasai bumi nusantara. Para penjajah, selalu mengedepankan ambisinya dengan memperluas perdagangan rempah-rempah dari hasil pertanian yang ketika itu yang dikirim melalui armada laut ke negaranya. Hanya penjajah yang memiliki kewenangan mengendalikan laut, sedangkan bangsa kita tidak diperkenankan mendalami ilmu-ilmu kelautan. Berbagai upaya dilakukan oleh penjajah untuk menghilangkan keterampilan bahari agar dapat melunturkan jiwa dan visi maritim bangsa Indonesia saat itu.
Setelah era kemerdekaan, bangsa Indonesia mulai menata kembali untuk bisa mengembalikan jiwa kebaharian dan melaksanakan pembangunan kelautan, meskipun belum maksimal. Hal ini didasari pada kesadaran akan ancaman yang mungkin timbul karena faktanya bahwa wilayah laut merupakan wilayah terbuka, maka dengan leluasa kekayaan laut Indonesia berpotensi untuk dimanfaatkan bangsa lain tanpa ada kemampuan untuk melindunginya.
Perkiraan ancaman dan gangguan lainnya yang mungkin dihadapi Indonesia ke depan antara lain meliputi kejahatan lintas negara (misalnya penyeludupan, pelanggaran ikan ilegal), pencemaran dan perusakan ekosistem, imigrasi gelap, pembajakan/perampokan, aksi radikalisme, konflik komunal dan dampak bencana alam.
Mencermati dinamika konteks tersebut di atas, maka dilaksanakannya Perumusan Kebijakan Kebijakan Strategi Pengamanan Wilayah Nasional, yang bertujuan untuk merumuskan kebijakan strategi pengamanan wilayah nasional, terutama laut, sebagai negara kepulauan yang mempunyai posisi geostrategis sangat unggul di lintasan jalur pelayaran manca negara. Sasaran yang ingin dicapai dari perumusan kebijakan ini adalah tersusunnya kebijakan strategi pengamanan wilayah nasional, yang dapat dijadikan masukan dalam perumusan operasional strategi pertahanan keamanan dan pengembangan wilayah Negara maritime yang tangguh .

                       


1.2    Tujuan

1)                       Mahasiswa dapat mengetahui pengertian lingkungan maritime
2)                      Mahasiswa dapat mengetahui Produk-produk dari International Maritim Organization
3)                      Mahasiswa dapat mengetahui PP No. 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim
4)                      Mahasiswa dapat menguraikan upaya-upaya meningkatkan keselamatan dan mengurangi pencemaran laut


1.3    Rumusan Masalah

1)                Apa yang dimaksud  dengan lingkungan maritime ?
2)               Apa saja produk dari International Maritime Organization ?
3)               Apa isi dari PP No. 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim ?
4)               Bagaimana upaya-upaya meningkatkan keselamatan dan mengurangi pencemaran laut ?





BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Lingkungan Maritim
          Pada  dasarnya batas lingkungan maritim suatu negara adalah artifisial karena pencemaran yang terjadi disuatu negara akan dirasakan juga oleh negara yang berbatasan laut. Tumpahan minyak dari kapal tanker akan mencemari pula perairan negara lain yang berbatasan. Seperti sudah dikenal sebelumnya konsep tentang pencemaran oleh tindakan manusia dapat dibedakan atas dua macam yakni :
  • Pollution Pay Principles. Prinsip ini secara tidak langsung memberi hak  kepada pencemar untuk melakukan pencemaran asalkan membayar kompensasinya. Dalam lingkungan bisnis maritim konsep ini sudah mulai ditinggalkan, pengenaan denda lebih dianggap sebagai hukuman  bukan sebagai kompensasi.
  • Pollution Prevention Pays. Pada konsep ini pencemaran harus dicegah secara proaktif, untuk itu perlu pengerahan dana untuk mencegah terjadinya pencemaran. Konsep inilah yang dikembangkan oleh IMO dalam konvensi-konvensi internasional tentang pencegahan pencemaran lingkungan maritim seperti keharusan membuat konstruksi Double Hull dan Segragated Ballast Tank untuk kapal tanker minyak mentah.
Kalau kita tinjau apa yang dikemukakan oleh  Naes (1989) tentang ekofilosofi yang membedakan dua kelompok pencinta lingkungan hidup. Penganut ekologi dangkal (diarahkan kepada kepentingan negara barat/maju  semata) dan penganut ekologi mendalam, kelompok ini berpendapat manusia adalah bahagian integral dari alam kehidupan dan makhluk hidup mempunyai hak yang sama.
Dalam menyiasati lingkungan maritim global teori ini memang ada benarnya, negara-negara maju/barat terlihat lebih banyak berfikir untuk kepentingan regional negara-negaranya sendiri. Sebagai contoh kecelakaan kapal Torey Canyon di Alaska telah membuat para pemikir disana untuk mengharuskan semua kapal yang memasuki wilayah Amerika dengan konstruksi double hull. Begitu juga dengan kasus lainnya negara-negara barat dengan mudahnya mengambil keputusan untuk membuang limbah nuklirnya ke kawasan Pasifik dan tidak di Atlantik misalnya.  Kalau kita bandingkan kecelakaan tanker yang terjadi diselat Malaka beberapa waktu yang lalu,  suatu lintasan laut terpadat di dunia belum membuat negara-negara maju/barat  untuk berbuat sesuatu untuk melindungi kawasan tersebut. Contoh-contoh diatas merupakan pembenaran dari teori ekologi dangkal dari Naes.
Dalam dunia maritim persyaratan mengenai pencegahan pencemaran laut  harus dipenuhi untuk dapat berlayar diperairan internasional atau memasuki negara lain. Adanya peraturan dari IMO-PBB tentang MARPOL (Marine Pollution) merupakan gambaran keterkaitan yang tidak dapat ditawar antara keinginan mempertahankan ekologi dengan kepentingan bisnis.
Dewasa ini masalah lindungan lingkungan tidak semata-mata membicarakan bagai mana menganggulangi pencemaran, tetapi sudah beralih kepada bagai mana agar pencemaran tidak terjadi, bersifat proaktif(Pollution Prevention Pays). Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan lindungan lingkungan sudah di internalisasikan menjadi anggaran operasi. Di Pertamina lindungan lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisah dengan kegiatan operasi perusahaan. Setiap direktorat memiliki bagian yang bertanggung jawab terhadap Lindungan Lingkungan (LK3).
2.2  Produk-produk dari International Maritim Organization
            Organisasi Maritim Internasional (Bahasa Inggris:International Maritime Organization atau IMO (dulunya dikenal sebagai Inter-Governmental Maritime Consultative Organization atau IMCO)), didirikan pada tahun 1948 melalui PBB untuk mengkoordinasikan keselamatan maritim internasional dan pelaksanaannya. Walaupun telah didirikan sepuluh tahun sebelumnya, IMO baru bisa berfungsi secara penuh pada tahun 1958. Dengan berpusat di London, Inggris, IMO mempromosikan kerja-sama antar-pemerintah dan antar-industri pelayaran untuk meningkatkan keselamatan maritim dan untuk mencegah polusi air laut.
IMO dijalankan oleh sebuah majelis dan dibiayai oleh sebuah dewan yang beranggotakan badan-badan yang tergabung di dalam majelis tadi. Dalam melaksanakan tugasnya, IMO memiliki lima komite. Kelima komite ini dibantu oleh beberapa sub-komite teknis. Organisasi-organisasi anggota PBB boleh meninjau cara kerja IMO. Status peninjau (observer) bisa diberikan juga kepada LSM yang memenuhi syarat tertentu.
IMO didukung oleh sebuah kantor sekretariat yang para pegawainya adalah wakil-wakil dari para anggota IMO sendiri. Sekretariat terdiri atas seorang Sekretaris Jendral yang secara berkala dipilih oleh Majelis, dan berbagai divisi termasuk Inter-Alia, Keselamatan Laut (Marine Safety), Perlindungan Lingkungan dan sebuah seksi Konferensi.
Tumpahan minyak dari kapal tanker akan mencemari perairan negara lain  tanpa mengenal batas negara serta akan mengakibatkan dampak luas dengan merusak ekosistem yang ada. Berdasarkan kenyataan diatas maka masyarakat maritim internasional membentuk International Maritime Organisation (IMO) yang bernaung dibawah PBB yang bermarkas di London. IMO mensponsori semua konvensi-konvensi internasional dibidang maritim. Peraturan-peraturan IMO tersebut menjadi dasar peraturan di bidang maritim oleh negara-negara anggota termasuk Indonesia.
1.        Safety Of Life At Sea (SOLAS 73/78)
SOLAS merupakan peraturan utama yang berisi  ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan keselamatan pelayaran (text box) yang wajib dipatuhi oleh negara anggota IMO.
 2.        Marine Pollution (MARPOL)
Penomena pencemaran laut oleh minyak mulai muncul setelah digunakannya kapal tanker sebagai pengangkut minyak lewat laut pada tahun 1885. Namun pemikiran secara sungguh-sungguh dilakukan setelah insiden kandasnya kapal Torrey Canyon pada tahun 1967 diperairan selatan Inggeris, yang menumpahkan 35,000,000 galon minyak mentah kelaut. Hasil pemikiran tersebut akhirnya dituangkan dalam bentuk ketetapan MARPOL 73/78 yang mulai berlaku mulai tanggal 2 Oktober 1983. Ketentuan-ketentuan didalam MARPOL dapat dilihat pada text box.
3.        Standard of Training Certification and Watchkeeping for Seafarer, 1995   (STCW-95).
Dalam ketentuan IMO ditetapkan pula bahwa semua operator pelayaran baik perusahaan pelayaran maupun non perusahaan pelayaran diwajibkan mentaati semua ketetuan STCW-95.
STCW-95 ditanda tangani di London tanggal 7 Juli 1995, setiap  negara anggota termasuk Indonesia wajib menerapkan sepenuhnya ketentuan STCW-95 yang meliputi tanggung jawab pemerintah dalam mengeluarkan sertifikat kecakapan pelaut yang diakui oleh IMO dan tanggung jawab  perusahaan untuk mempekerjakan pelaut yang memenuhi standard IMO.
Mulai tanggal 1 Februari 1997 STCW-95 secara serentak diberlakukan secara internasional dan mulai tanggal 1 Agustus 1998 semua pendidikan kepelautan sudah harus mengacu pada ketentuan STCW-95.
Bagi perusahaan yang mengoperasikan kapal kehadiran konvensi tentunya merupakan peluang untuk mendapatkan pelaut dengan standard kualifikasi yang diakui. Dengan demikian keselamatan kapal akan dapat lebih terjamin baik terhadap kecelakaan maupun terhadap pencemaran laut. Pada akhirnya perusahaan akan terhindar dari  resiko kerugian akibat kecelakaan ataupun kerugian akibat pencemaran.
Bagi Pertamina penerapan ketentuan baru ini jelas merupakan tambahan pengeluaran biaya khususnya dalam hal pembinaan SDM pelaut.   Diklat Khusus Pelaut  telah mendapat  kepercayaan dari IMO dan Pemerintah untuk menyelenggarakan pelatihan untuk para pelaut Pertamina dan non Pertamina , adanya ketentuan mandatory ini merupakan peluang pula untuk untuk mendidik para pelaut diluar Pertamina. Tentunya kalau dikembangkan secara profesional akan merupakan lahan bagi unit usaha yang mandiri karena pasar yang tersedia cukup luas. Menurut data KPI (Kesatuan Pelaut Indonesia) tahun 1997 terdapat 50,000 pelaut Indonesia, yang secara reguler setiap lima tahun harus kembali melakukan latihan penyegaran.
Penerapan STCW-95 ini secara internasional tentunya akan membawa permasalan baru bagi pemerintah, wahana pelatihan dan perusahan yang mengoperasikan kapal.
Bagi pemerintah penerapan konvensi ini akan melibatkan departemen Perhubungan cq Ditjenla sebagai pemegang otoritas maritim, adanya konvensi yang baru ini akan memdatangkan tugas yang baru pula terutama dalam hal  menyusun/menyesuaikan struktur pelatihan dan sylabus yang sudah ada dengan metode yang telah disusun oleh IMO.
Disektor tenaga kerja kehadiran STCW-95 dapat merupakan acuan untuk menyiapkan tenaga kerja profesional yang akan dipasarkan didalam ataupun keluar negeri.
Bagi wahana pendidikan pelaut kehadiran STCW-95 dapat pula merupakan tantangan untuk membenahi kekurangan yang ada pada wahana pendidikan yang ada selama ini. Penelitian yang dilakukan oleh IMO tahun 1996 terhadap sejumlah institusi pendidikan kepelautan baik yang dikelola swasta maupun yang dikelola pemerintah masih perlu pembenahan baik dalam hal kelengkapan perangkat keras maupun perangkat lunak instrukturnya.
Bagi pelaut tentunya konvensi ini merupakan tantangan untuk menambah ilmu dan keterampilan untuk memperkuat daya saing dipasaran tenaga kerja. Tetapi tentu saja dapat juga dianggap suatu hambatan bagi pelaut khususnya pelaut bawahan, karena biaya pendidikan ini cukup mahal.




           

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2010
TENTANG
PERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM
Menetapkan        :    PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
                                 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.                  Perlindungan Lingkungan Maritim adalah setiap upaya untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan perairan yang bersumber dari kegiatan yang terkait dengan pelayaran.

2.                  Pencegahan Pencemaran dari Kapal adalah upaya yang harus dilakukan Nakhoda dan/atau awak kapal sedini mungkin untuk menghindari atau mengurangi pencemaran tumpahan minyak, bahan cair beracun, muatan berbahaya dalam kemasan, limbah kotoran (sewage), sampah (garbage), dan gas buang dari kapal ke perairan dan udara.

3.                       Penanggulangan Pencemaran dari Pengoperasian Kapal adalah segala tindakan yang dilakukan secara cepat, tepat, dan terpadu serta terkoordinasi untuk mengendalikan, mengurangi, dan membersihkan tumpahan minyak atau bahan cair beracun dari kapal ke perairan untuk meminimalisasi kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan laut.

4.                       Penanggulangan Pencemaran dari Kegiatan Kepelabuhanan adalah segala tindakan yang dilakukan secara cepat, tepat, dan terpadu serta terkoordinasi untuk mengendalikan, mengurangi, dan membersihkan tumpahan minyak atau bahan cair beracun dari pelabuhan ke perairan untuk meminimalisasi kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan laut.

5.                       Minyak adalah minyak bumi dalam bentuk apapun termasuk minyak mentah,   minyak bahan bakar, minyak kotor, kotoran minyak, dan hasil olahan pemurnian seperti berbagai jenis aspal, bahan bakar diesel, minyak pelumas, minyak tanah, bensin, minyak suling, naptha, dan sejenisnya.

6.                       Pengendalian Anti Teritip (Anti-Fouling Systems) adalah sejenis lapisan pelindung, cat, lapisan perawatan permukaan, atau  peralatan yang digunakan di atas kapal untuk mengendalikan atau mencegah menempelnya organisme yang tidak diinginkan.

7.                       Pembuangan Limbah di Perairan adalah setiap pembuangan limbah atau benda lain ke perairan, baik berasal dari kapal maupun berupa kerangka kapal itu sendiri, kecuali pembuangan yang berasal dari operasi normal kapal.

8.                       Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.

9.                       Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.

10.                   Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil.

11.                   Nakhoda adalah salah seorang dari awak kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

12.                   Pemilik Kapal adalah orang perseorangan atau perusahaan yang terdaftar sebagai pemilik kapal atau yang bertanggung jawab atas nama pemilik kapal termasuk operator.

13.                     Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.

14.                   Tangki Kapal adalah ruangan tertutup yang merupakan bagian dari konstruksi tetap kapal yang dipergunakan untuk menempatkan atau mengangkut cairan dalam bentuk curah temasuk tangki samping (wing tank), tangki bahan bakar (fuel tank), tangki tengah (centre tank), tangki air balas (water ballast tank) atau tangki dasar ganda (double bottom tank), tangki endap (slop tank), tangki minyak kotor (sludge tank), tangki dalam (deep tank), tangki bilga (bilge tank), dan tangki yang dipergunakan untuk memuat bahan cair beracun secara curah.

15.                   Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran, dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.

16.                   Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau antarmoda, serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah.

17.                   Unit Kegiatan Lain adalah pengelola unit pengeboran minyak dan fasilitas penampungan minyak di perairan.

18.                   Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.

19.                   Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pelayaran.

Pasal 2

(1)               Penyelenggaraan perlindungan lingkungan maritim dilakukan oleh Menteri.

(2)               Penyelenggaraan perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a.         pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari pengoperasian   kapal; dan
b.         pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari kegiatan kepelabuhanan.
(3)       Selain pencegahan dan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perlindungan lingkungan maritim juga dilakukan terhadap:
a.         pembuangan limbah di perairan; dan
b.         penutuhan kapal.

BAB II
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENCEMARAN
DARI PENGOPERASIAN KAPAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1)          Setiap awak kapal wajib mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapalnya.

(2)          Pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.                     minyak;
b.                     bahan cair beracun;
c.                     muatan bahan berbahaya dalam bentuk kemasan;
d.                     kotoran;
e.                     sampah;
f.                      udara;
g.                     air balas; dan/atau
h.                     barang dan bahan berbahaya bagi lingkungan yang ada di kapal.
i.            
Pasal 4
(1)     Dalam melakukan pencegahan pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), awak kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil pada kapal dengan jenis dan ukuran tertentu harus memastikan:
a.         tersedianya buku catatan minyak untuk ruang mesin dan buku catatan minyak untuk ruang muat bagi kapal tangki minyak;
b.         tersedianya tangki penampung minyak kotor dengan baik;
c.         tersedianya manajemen pembuangan sampah dan bak penampung sampah;
d.         jenis bahan bakar yang digunakan tidak merusak lapisan ozon;
e.         terpasangnya peralatan pencegahan pencemaran yang berfungsi dengan baik untuk kapal dengan ukuran tertentu;
f.          tersedianya tangki penampungan atau alat penghancur kotoran untuk kapal dengan pelayar 15 (lima belas) orang atau lebih;
g.         tersedianya sistem pengemasan, penandaan (pelabelan), pendokumentasian yang baik, dan penempatan muatan sesuai dengan tata cara dan prosedur untuk kapal pengangkut bahan berbahaya dalam bentuk kemasan;
h.         tersedianya prosedur tetap penanggulangan pencemaran; dan
i.           tersedianya bahan kimia pengurai dan alat pelokalisir minyak.

(2)          Dalam melakukan penanggulangan pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), awak kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil wajib:
a.                         melokalisir minyak dengan menggunakan alat pelokalisir minyak;
b.              menghisap minyak dengan alat penghisap minyak;
c.                          menyerap minyak dengan bahan penyerap;
d.              menguraikan minyak dengan menyiramkan bahan kimia pengurai yang ramah lingkungan; dan
e.                         melaporkan kepada Syahbandar terdekat dan/atau unsur pemerintah lainnya yang terdekat.

Pasal 5
(1)          Setiap kapal dilarang melakukan pembuangan limbah dan bahan lain dari pengoperasian kapal ke perairan.
(2)          Limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.        sisa minyak kotor;
b.        sampah; dan
c.         kotoran manusia.
(3)          Bahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.      air balas;
b.      bahan kimia berbahaya dan beracun; dan
c.      bahan yang mengandung zat perusak ozon.
(4)          Limbah dan bahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditampung di kapal dan dipindahkan ke fasilitas penampungan yang ada di pelabuhan atau terminal khusus.

2.4 Upaya-Upaya Meningkatkan Keselamatan Dan Mengurangi Pencemaran Laut
1.      Dibidang Konstruksi dan Perlengkapan Kapal.
a.    Konsep Clean Ballast.
Menurut survey yang dilakukan IMO cara terbaik untuk mencegah terjadinya pencemaran laut akibat kegiatan operasi kapal adalah dengan membuat konstruksi kapal atau melengkapi kapal dengan SBT, CBT dan COW. Oleh IMO kemudian aturan ini diadopsi menjadi bagian dari Marpol 73/78.
Ketentuan MARPOL 73/78 yang mulai berlaku mulai tanggal 2 Oktober 1983 menetapkan :
Kapal Baru  yakni yang dibangun dengan kontrak pembangunan sesudah 1 Juni 1979 atau keel laying setelah 1 Januari 1980 atau delivery setelah 1 Juni 1982, ditetapkan :
ü  Semua Tanker Minyak Crude á 20,000 DWT  harus dilengkapi dengan SBT atau CBT dan COW.
ü  Semua Tanker minyak Produk  á 30,000 DWT  harus dilengkapi dengan SBT.
ü  Semua Tanker segala ukuran harus memiliki Oil Discharge Monitoring.
Catatan  :           SBT     =  Segragated Ballast Tank.
CBT      =  Dedicated Clean Ballast Tank.
COW    =  Crude Oil Washing.
 b.    Konsep Double Hull/Double Skin.
Konvensi-konvensi yang terdahulu ternyata belum dapat memberikan  jaminan yang memuaskan terhadap usaha pencegahan pencemaran yang dinginkan IMO. Kecelakaan kapal Exxon Valdez yang menumpahkan minyak mentah di laut Alaska tahun 1989 telah membuat Pemerintah Amerika membuat aturan sepihak melalui “Oil Pollution Act 1990”. Dalam aturan tersebut semua kapal yang memasuki perairan Amerika harus memakai konstruksi double hull(lambung ganda).
Oleh IMO kemudian aturan ini diadopsi menjadi bagian dari Marpol 73/78. Ditetapkan bahwa :
Kapal yang dibangun dengan kontrak setelah 6 Juli 1993 dengan ukuran diatas 5000 DWT harus memakai konstruksi double hull. Sedangkan kapal tua yang dibangun sebelum tanggal diatas diberi keringanan dalam waktu lima tahun untuk merubah konstruksi untuk membuat SBT.
Dapat dibayangkan dampak dari keluarnya aturan ini terhadap kegiatan angkutan laut umumnya, dan Pertamina khususnya. Membuat kapal dengan lambung ganda tentunya akan menaikkan biaya pembuatan kapal yang pada gilirannya akan meningkatkan pula biaya angkutan minyak.



2.    Usaha dalam bidang manajemen, melaui ISM Code.
Mengoperasikan kapal niaga khususnya kapal tanker merupakan kegiatan yang sangat komplek dan khusus karena disamping harus terikat dengan peraturan nasional harus pula tunduk pada aturan yang sifatnya internasional, sepanjang sudah diratifikasi oleh negara yang bersangkutan.
Peraturan-peraturan tersebut selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Angka-angka statistik dari IMO menunjukkan 80% kecelakan kapal adalah bersumber dari kesalahan manusia, serta 75% ~79 % dari faktor kesalahan  tersebut bersumber dari ketidak tanggapam manajemen terhadap permasalahan dikapal.
Yang sedang dikembangkan saat ini oleh IMO adalah menciptakan kondisi yang aman melalui sistem manajemen yang mampu menjembatani kepentingan manajemen kapal dengan kepentingan manajemen darat/kantor. Tentunya sistem tersebut perlu ditunjang dengan adanya prosedur dan SDM yang mampu melaksanakan baik secara teknis maupun secara manajerial. Dalam hal ini diperlukan tindakan yang proaktif dalam arti setiap tindakan/keputusan yang diambil tentunya sudah mempertimbangkan konsekuensi yang akan timbul secara luas.
Berangkat dari hasil survey yang dilakukan dan keinginan untuk melindungi lingkungan secara terpadu maka IMO mengeluarkan satu lagi peraturan baru yang disebut ISM-Code yang telah ditetapkan menjadi Bab IX SOLAS 73/78 dan telah ditetapkan berlaku secara internasional mulai 1 Juli 1997.
ISM-Code merupakan perubahan mendasar dalam manajemen perusahaan yang sudah ada dan merupakan alat untuk menyeragamkan manajemen pengoperasian kapal secara global. Banyak segi positif dalam penerapan ISM Code khususnya bagi perusahaan pelayaran terutama mengenai struktur organisasi yang efisien dan tepat guna. Dengan melaksanakan ISM Code secara konsekuen akan menjamin armada kapal terpelihara dengan baik, karena disana diatur pula mengenai prosedur pemeliharaan kapal, dukungan material serta sistem audit intern maupun ekstern.
Berkaitan dengan bisnis dibidang pelayaran keberadaan ISM Code dapat dianggap sebagai tantangan untuk meningkatkan kinerja perusahaan melalui penerapan manajemen operasi yang efisien. Disamping itu membuka peluang pula untuk meningkatkan daya saing  melalui peningkatan mutu pelayanan. Disamping itu ISM Code juga secara terarah akan membentuk SDM yang berprilaku proaktif.
Panduan penerapan ISM Code pada kapal-kapal milik ada pada Buku Pedoman Manajemen Keselamatan yang terdiri atas 2(dua) buku yakni PSH 100 yang merupakan referensi bagi pekerja di kantor dan PSH 500 sebagai referensi bagi pekerja awak kapal di kapal.
Salah satu elemen dalam PSH 100 dan PSH 500 adalah Peraturan Managemen Pemeliharaan Kapal. Peraturan tersebut merupakan panduan dalam melaksanakan kegiatan di kantor maupun di kapal yang pada hakekatnya adalah untuk memaksimalkan tingkat keselamatan dikapal dan pencegahan terjadinya pencemaran oleh kapal. Disana diatur system pemeliharaan kapal secara terencana karena hanya dengan pemeliharaan kapal yang tertata baik kondisi layak laut kapal dapat dipertahankan.     
Bagi Pertamina penerapan ISM Code bukanlah hal yang terlalu sulit karena pada dasarnya semua prosedur tertulis dan dokumentasi yang syaratkan oleh ISM Code tidak jauh berbeda dengan standard operasi dan sistem dan tata kerja yang telah dimiliki oleh Pertamina Perkapalan. Hanya saja prosedur yang telah ada tersebut perlu disesuaikan dengan persyaratan ISM Code. Yang mungkin agak sulit adalah merubah kebiasaan bertindak lebih kearah proaktif seperti yang diinginkan oleh ISM Code.
Di sisi lain bagi perusahaan adanya ISM Code yang bersifat mandatori dapat dianggap sebagai cerminan dari citra dan keandalan perusahaan tersebut. Dengan demikian penerapan ISM Code dapat merupakan satu competitive advantage bagi perusahaan untuk merebut pasar. Begitu juga terhadap kapal-kapal tanker swasta yang akan dicharter Pertamina  diharuskan pula menerapkan ISM Code yang  dibuktikan dengan seertifikat DOC dan SMC.

















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Lingkungan maritime yaitu lingkungan suatu negara yang artifisial karena pencemaran yang terjadi disuatu negara akan dirasakan juga oleh negara yang berbatasan laut. Tumpahan minyak dari kapal tanker akan mencemari pula perairan negara lain yang berbatasan. Undang-undang yang mengatur tentang lingkungan maritime yaitu

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Lingkungan Maritim.
Organisasi yang bergerak di bidang lingkungan kemaritiman yaitu Organisasi Maritim Internasional (IMO). Organisasi Maritim Internasional  dibentuk pada tahun 1982 bermarkas di London, Britania Raya. Sebelum IMO dibentuk, pada tahun 1948 diadakan konferensi internasional di Jenewa yang menyepakati pembentukan suatu badan konsultasi maritim antar pemerintahan  yang disebut Inter-Govermental Maritime Consultative Organization, IMCO. Konvensi IMCO (sekarang IMO) diberlakukan pada tahun 1958 dan Organisasi ini bertemu untuk pertama kalinya pada tahun 1959. Badan-badan PBB lainnya juga dibentuk termasuk Badan Pangan dan Pertanian (FAO) berkantor pusat di Roma, Kantor Buruh Internasional (ILO) dan Organisasi Kesehatan Dunia, keduanya bermarkas di Jenewa. Kemudian pada tahun 1982 IMCO dirubah namanya menjadi IMO. 
Globalisasi dalam dunia maritim sudah terlihat dari adanya konvensi internasional yang mengatur persyaratan mengenai pencegahan pencemaran laut dan keselamatan pelayaran serta standard manajemen operasi perusahaan pelayaran/operator perkapalan. Hanya dengan memenuhi semua ketentuan tersebut kapal dapat berlayar diperairan internasional atau memasuki negara lain di dunia. Adanya konvensi IMO/PBB dalam bentuk MARPOL, SOLAS, STCW-95 dan ISM Code merupakan gambaran keterkaitan yang tidak dapat ditawar antara keinginan mempertahankan ekologi secara global dengan kepentingan bisnis.

3.2 Saran

Keamanan laut merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara , kita harus ikut berperan serta dalam menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah nkri . Namun yang mempunyai tanggung jawab utama dalam menjaga keamanan dan pertahanan wilayah negara khususnya bagi nkri yaitu tentara negara indonesia (tni), khususnya untuk wilayah laut yaitu  tni al . Untuk mengarahkan indonesia sebagai negara kepulauan indonesia untuk menjadi satu negara maritim, bukan sekedar negara maritim, tapi negara maritim indonesia yang besar, kuat, dan makmur. Besar sudah jelas, kuat belum, makmur apalagi. Bicara tentang kuat dan makmur inilah perlu adanya kebijakan yang tepat untuk membangun negara maritim yang tangguh dalam perspektif politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan.









DAFTAR PUSTAKA

Pieter .1995. Dasar-Dasar Peraturan Keselamatan Pelayaran dan Pencegahan Pencemaran Dari Kapal Sesuai Ketentuan IMO. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.

Umar  .1997. Perubahan Ekologi.  Yogyakarta.