MAKALAH WAWASAN
KEMARITIMAN
LINGKUNGAN MARITIM
OLEH :
KELOMPOK : 5 (LIMA)
NAMA :
1. SRI WULANDARI AGUSTINI (F1B214061)
2.MUH. ZIGAR AL-GHAZALI
3.LA ODE JUMAR
4. FIANA
5. ASDIN
6. RATNO RIFAI
7. SUWARDI
JURUSAN :
TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS
: FITK
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan dengan 80 % wilayah laut dan 20 %
wilayah darat, potensi ancaman terhadap kedaulatan dan wilayah Indonesia berada
di laut. Presentase ancaman ini menjadi semakin tinggi karena posisi geografi
Indonesia berada pada lalu lintas perdagangan dunia. Setiap hari ratusan bahkan
ribuan kapal baik kapal dagang maupun militer melintas di perairan Indonesia
melalui Sea Lanes of Communication (SLOC) serta Sea Lines of Oil Trade (SLOT).
Laut Indonesia memiliki arti yang sangat penting bagi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yaitu, laut sebagai media pemersatu bangsa, laut sebagai media
perhubungan, laut sebagai media sumber daya, laut sebagai media pertahanan dan
keamanan, serta laut sebagai media diplomasi. Konsep pemikiran tersebut sangat
diperlukan bangsa Indonesia agar tidak menjadikan dan menganggap laut sebagai
rintangan, kendala atau hambatan sebagaimana dihembuskan oleh pihak-pihak asing
yang tidak menginginkan kemajuan bagi bangsa dan negara Indonesia.
Sesungguhnya
sejak jaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, bangsa Indonesia merupakan bangsa
berjiwa bahari yang memiliki filosofi "hidup dengan dan dari laut".
Pada jaman kedua kerajaan tersebut, kebudayaan maritim dan arus perdagangan di
laut mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini dilaksanakan pula oleh Belanda
yang menjajah dan menguasai bumi nusantara. Para penjajah, selalu mengedepankan
ambisinya dengan memperluas perdagangan rempah-rempah dari hasil pertanian yang
ketika itu yang dikirim melalui armada laut ke negaranya. Hanya penjajah yang
memiliki kewenangan mengendalikan laut, sedangkan bangsa kita tidak
diperkenankan mendalami ilmu-ilmu kelautan. Berbagai upaya dilakukan oleh
penjajah untuk menghilangkan keterampilan bahari agar dapat melunturkan jiwa
dan visi maritim bangsa Indonesia saat itu.
Setelah era
kemerdekaan, bangsa Indonesia mulai menata kembali untuk bisa mengembalikan
jiwa kebaharian dan melaksanakan pembangunan kelautan, meskipun belum maksimal.
Hal ini didasari pada kesadaran akan ancaman yang mungkin timbul karena
faktanya bahwa wilayah laut merupakan wilayah terbuka, maka dengan leluasa
kekayaan laut Indonesia berpotensi untuk dimanfaatkan bangsa lain tanpa ada
kemampuan untuk melindunginya.
Perkiraan ancaman dan gangguan
lainnya yang mungkin dihadapi Indonesia ke depan antara lain meliputi kejahatan
lintas negara (misalnya penyeludupan, pelanggaran ikan ilegal), pencemaran dan
perusakan ekosistem, imigrasi gelap, pembajakan/perampokan, aksi radikalisme,
konflik komunal dan dampak bencana alam.
Mencermati dinamika
konteks tersebut di atas, maka dilaksanakannya Perumusan Kebijakan Kebijakan
Strategi Pengamanan Wilayah Nasional, yang bertujuan untuk merumuskan kebijakan
strategi pengamanan wilayah nasional, terutama laut, sebagai negara kepulauan
yang mempunyai posisi geostrategis sangat unggul di lintasan jalur pelayaran
manca negara. Sasaran yang ingin dicapai dari perumusan kebijakan ini adalah
tersusunnya kebijakan strategi pengamanan wilayah nasional, yang dapat
dijadikan masukan dalam perumusan operasional strategi pertahanan keamanan dan
pengembangan wilayah Negara maritime yang tangguh .
1.2
Tujuan
1)
Mahasiswa
dapat mengetahui pengertian lingkungan maritime
2)
Mahasiswa
dapat mengetahui Produk-produk dari
International Maritim Organization
4)
Mahasiswa dapat
menguraikan upaya-upaya meningkatkan keselamatan dan mengurangi pencemaran laut
1.3
Rumusan Masalah
1)
Apa yang dimaksud dengan lingkungan maritime ?
2)
Apa
saja produk dari International Maritime Organization ?
4)
Bagaimana upaya-upaya meningkatkan keselamatan dan mengurangi pencemaran laut ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Lingkungan Maritim
Pada
dasarnya batas lingkungan maritim suatu negara adalah artifisial karena
pencemaran yang terjadi disuatu negara akan dirasakan juga oleh negara yang
berbatasan laut. Tumpahan minyak dari kapal tanker akan mencemari pula perairan
negara lain yang berbatasan. Seperti sudah dikenal sebelumnya konsep tentang
pencemaran oleh tindakan manusia dapat dibedakan atas dua macam yakni :
- Pollution Pay Principles. Prinsip ini secara tidak langsung memberi hak kepada pencemar untuk melakukan pencemaran asalkan membayar kompensasinya. Dalam lingkungan bisnis maritim konsep ini sudah mulai ditinggalkan, pengenaan denda lebih dianggap sebagai hukuman bukan sebagai kompensasi.
- Pollution Prevention Pays. Pada konsep ini pencemaran harus dicegah secara proaktif, untuk itu perlu pengerahan dana untuk mencegah terjadinya pencemaran. Konsep inilah yang dikembangkan oleh IMO dalam konvensi-konvensi internasional tentang pencegahan pencemaran lingkungan maritim seperti keharusan membuat konstruksi Double Hull dan Segragated Ballast Tank untuk kapal tanker minyak mentah.
Kalau kita tinjau apa yang
dikemukakan oleh Naes (1989) tentang ekofilosofi yang membedakan dua
kelompok pencinta lingkungan hidup. Penganut
ekologi dangkal (diarahkan kepada kepentingan negara barat/maju
semata) dan penganut ekologi mendalam,
kelompok ini berpendapat manusia adalah bahagian integral dari alam kehidupan
dan makhluk hidup mempunyai hak yang sama.
Dalam menyiasati lingkungan
maritim global teori ini memang ada benarnya, negara-negara maju/barat terlihat
lebih banyak berfikir untuk kepentingan regional negara-negaranya sendiri.
Sebagai contoh kecelakaan kapal Torey Canyon di Alaska telah membuat para
pemikir disana untuk mengharuskan semua kapal yang memasuki wilayah Amerika
dengan konstruksi double hull. Begitu juga dengan kasus lainnya negara-negara
barat dengan mudahnya mengambil keputusan untuk membuang limbah nuklirnya ke
kawasan Pasifik dan tidak di Atlantik misalnya. Kalau kita bandingkan
kecelakaan tanker yang terjadi diselat Malaka beberapa waktu yang lalu,
suatu lintasan laut terpadat di dunia belum membuat negara-negara
maju/barat untuk berbuat sesuatu untuk melindungi kawasan tersebut.
Contoh-contoh diatas merupakan pembenaran dari teori ekologi dangkal dari Naes.
Dalam dunia maritim persyaratan
mengenai pencegahan pencemaran laut harus dipenuhi untuk dapat berlayar
diperairan internasional atau memasuki negara lain. Adanya peraturan dari
IMO-PBB tentang MARPOL (Marine Pollution) merupakan gambaran keterkaitan yang
tidak dapat ditawar antara keinginan mempertahankan ekologi dengan kepentingan
bisnis.
Dewasa ini masalah lindungan lingkungan tidak
semata-mata membicarakan bagai mana menganggulangi pencemaran, tetapi sudah
beralih kepada bagai mana agar pencemaran tidak terjadi, bersifat proaktif(Pollution
Prevention Pays). Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan lindungan
lingkungan sudah di internalisasikan menjadi anggaran operasi. Di Pertamina
lindungan lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisah dengan kegiatan
operasi perusahaan. Setiap direktorat memiliki bagian yang bertanggung jawab
terhadap Lindungan Lingkungan (LK3).
2.2 Produk-produk dari International Maritim Organization
Organisasi Maritim Internasional (Bahasa Inggris:International Maritime Organization
atau IMO (dulunya dikenal
sebagai Inter-Governmental Maritime
Consultative Organization atau IMCO)),
didirikan pada tahun 1948 melalui PBB untuk mengkoordinasikan keselamatan
maritim internasional dan pelaksanaannya. Walaupun telah didirikan sepuluh
tahun sebelumnya, IMO baru bisa berfungsi secara penuh pada tahun 1958. Dengan
berpusat di London, Inggris, IMO mempromosikan kerja-sama antar-pemerintah dan
antar-industri pelayaran untuk meningkatkan keselamatan maritim dan untuk
mencegah polusi air laut.
IMO dijalankan oleh sebuah majelis dan
dibiayai oleh sebuah dewan yang beranggotakan badan-badan yang tergabung di
dalam majelis tadi. Dalam melaksanakan tugasnya, IMO memiliki lima komite.
Kelima komite ini dibantu oleh beberapa sub-komite teknis.
Organisasi-organisasi anggota PBB boleh meninjau cara kerja IMO. Status
peninjau (observer) bisa diberikan juga kepada LSM yang memenuhi syarat
tertentu.
IMO didukung oleh sebuah kantor sekretariat
yang para pegawainya adalah wakil-wakil dari para anggota IMO sendiri.
Sekretariat terdiri atas seorang Sekretaris Jendral yang secara berkala dipilih
oleh Majelis, dan berbagai divisi termasuk Inter-Alia, Keselamatan Laut (Marine
Safety), Perlindungan Lingkungan dan sebuah seksi Konferensi.
Tumpahan minyak dari kapal tanker
akan mencemari perairan negara lain tanpa mengenal batas negara serta akan
mengakibatkan dampak luas dengan merusak ekosistem yang ada. Berdasarkan
kenyataan diatas maka masyarakat maritim internasional membentuk International
Maritime Organisation (IMO) yang bernaung dibawah PBB yang bermarkas di London.
IMO mensponsori semua konvensi-konvensi internasional dibidang maritim.
Peraturan-peraturan IMO tersebut menjadi dasar peraturan di bidang maritim oleh
negara-negara anggota termasuk Indonesia.
1.
Safety Of Life At Sea (SOLAS 73/78)
SOLAS
merupakan peraturan utama yang berisi ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan keselamatan pelayaran (text box) yang wajib dipatuhi oleh
negara anggota IMO.
2.
Marine Pollution (MARPOL)
Penomena
pencemaran laut oleh minyak mulai muncul setelah digunakannya kapal tanker
sebagai pengangkut minyak lewat laut pada tahun 1885. Namun pemikiran secara
sungguh-sungguh dilakukan setelah insiden kandasnya kapal Torrey Canyon pada
tahun 1967 diperairan selatan Inggeris, yang menumpahkan 35,000,000 galon
minyak mentah kelaut. Hasil pemikiran tersebut akhirnya dituangkan dalam bentuk
ketetapan MARPOL 73/78 yang mulai berlaku mulai tanggal 2 Oktober 1983.
Ketentuan-ketentuan didalam MARPOL dapat dilihat pada text box.
3. Standard of Training
Certification and Watchkeeping for Seafarer, 1995 (STCW-95).
Dalam
ketentuan IMO ditetapkan pula bahwa semua operator pelayaran baik perusahaan
pelayaran maupun non perusahaan pelayaran diwajibkan mentaati semua ketetuan
STCW-95.
STCW-95
ditanda tangani di London tanggal 7 Juli 1995, setiap negara anggota
termasuk Indonesia wajib menerapkan sepenuhnya ketentuan STCW-95 yang meliputi
tanggung jawab pemerintah dalam mengeluarkan sertifikat kecakapan pelaut yang
diakui oleh IMO dan tanggung jawab perusahaan untuk mempekerjakan pelaut
yang memenuhi standard IMO.
Mulai
tanggal 1 Februari 1997 STCW-95 secara serentak diberlakukan secara
internasional dan mulai tanggal 1 Agustus 1998 semua pendidikan kepelautan
sudah harus mengacu pada ketentuan STCW-95.
Bagi
perusahaan yang mengoperasikan kapal kehadiran konvensi tentunya merupakan
peluang untuk mendapatkan pelaut dengan standard kualifikasi yang diakui.
Dengan demikian keselamatan kapal akan dapat lebih terjamin baik terhadap
kecelakaan maupun terhadap pencemaran laut. Pada akhirnya perusahaan akan
terhindar dari resiko kerugian akibat kecelakaan ataupun kerugian akibat
pencemaran.
Bagi
Pertamina penerapan ketentuan baru ini jelas merupakan tambahan pengeluaran
biaya khususnya dalam hal pembinaan SDM pelaut. Diklat Khusus
Pelaut telah mendapat kepercayaan dari IMO dan Pemerintah untuk
menyelenggarakan pelatihan untuk para pelaut Pertamina dan non Pertamina ,
adanya ketentuan mandatory ini merupakan peluang pula untuk untuk mendidik para
pelaut diluar Pertamina. Tentunya kalau dikembangkan secara profesional akan
merupakan lahan bagi unit usaha yang mandiri karena pasar yang tersedia cukup
luas. Menurut data KPI (Kesatuan Pelaut Indonesia) tahun 1997 terdapat 50,000
pelaut Indonesia, yang secara reguler setiap lima tahun harus kembali melakukan
latihan penyegaran.
Penerapan
STCW-95 ini secara internasional tentunya akan membawa permasalan baru bagi
pemerintah, wahana pelatihan dan perusahan yang mengoperasikan kapal.
Bagi
pemerintah penerapan konvensi ini akan melibatkan departemen Perhubungan cq
Ditjenla sebagai pemegang otoritas maritim, adanya konvensi yang baru ini akan
memdatangkan tugas yang baru pula terutama dalam hal
menyusun/menyesuaikan struktur pelatihan dan sylabus yang sudah ada dengan
metode yang telah disusun oleh IMO.
Disektor
tenaga kerja kehadiran STCW-95 dapat merupakan acuan untuk menyiapkan tenaga
kerja profesional yang akan dipasarkan didalam ataupun keluar negeri.
Bagi wahana
pendidikan pelaut kehadiran STCW-95 dapat pula merupakan tantangan untuk
membenahi kekurangan yang ada pada wahana pendidikan yang ada selama ini.
Penelitian yang dilakukan oleh IMO tahun 1996 terhadap sejumlah institusi
pendidikan kepelautan baik yang dikelola swasta maupun yang dikelola pemerintah
masih perlu pembenahan baik dalam hal kelengkapan perangkat keras maupun
perangkat lunak instrukturnya.
Bagi pelaut
tentunya konvensi ini merupakan tantangan untuk menambah ilmu dan keterampilan
untuk memperkuat daya saing dipasaran tenaga kerja. Tetapi tentu saja dapat
juga dianggap suatu hambatan bagi pelaut khususnya pelaut bawahan, karena biaya
pendidikan ini cukup mahal.
|
NOMOR 21 TAHUN 2010
TENTANG
PERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM
Menetapkan : PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG PERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang
dimaksud dengan:
1.
Perlindungan
Lingkungan Maritim adalah setiap upaya untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran lingkungan perairan yang bersumber dari kegiatan yang terkait dengan
pelayaran.
2.
Pencegahan
Pencemaran dari Kapal adalah upaya yang harus dilakukan Nakhoda dan/atau awak
kapal sedini mungkin untuk menghindari atau mengurangi pencemaran tumpahan
minyak, bahan cair beracun, muatan berbahaya dalam kemasan, limbah kotoran (sewage),
sampah (garbage), dan gas buang dari kapal ke perairan dan udara.
3.
Penanggulangan
Pencemaran dari Pengoperasian Kapal adalah segala tindakan yang dilakukan
secara cepat, tepat, dan terpadu serta terkoordinasi untuk mengendalikan,
mengurangi, dan membersihkan tumpahan minyak atau bahan cair beracun dari kapal
ke perairan untuk meminimalisasi kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan
laut.
4.
Penanggulangan
Pencemaran dari Kegiatan Kepelabuhanan adalah segala tindakan yang dilakukan
secara cepat, tepat, dan terpadu serta terkoordinasi untuk mengendalikan,
mengurangi, dan membersihkan tumpahan minyak atau bahan cair beracun dari
pelabuhan ke perairan untuk meminimalisasi kerugian masyarakat dan kerusakan
lingkungan laut.
5.
Minyak adalah
minyak bumi dalam bentuk apapun termasuk minyak mentah, minyak bahan bakar, minyak kotor, kotoran
minyak, dan hasil olahan pemurnian seperti berbagai jenis aspal, bahan bakar
diesel, minyak pelumas, minyak tanah, bensin, minyak suling, naptha, dan
sejenisnya.
6.
Pengendalian
Anti Teritip (Anti-Fouling Systems) adalah sejenis lapisan pelindung,
cat, lapisan perawatan permukaan, atau
peralatan yang digunakan di atas kapal untuk mengendalikan atau mencegah
menempelnya organisme yang tidak diinginkan.
7.
Pembuangan
Limbah di Perairan adalah setiap pembuangan limbah atau benda lain ke perairan,
baik berasal dari kapal maupun berupa kerangka kapal itu sendiri, kecuali
pembuangan yang berasal dari operasi normal kapal.
8.
Pelayaran
adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan,
kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.
9.
Kapal adalah
kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga
angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan
yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung
dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
10.
Awak Kapal
adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau
operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya
yang tercantum dalam buku sijil.
11.
Nakhoda
adalah salah seorang dari awak kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal
dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
12.
Pemilik Kapal
adalah orang perseorangan atau perusahaan yang terdaftar sebagai pemilik kapal
atau yang bertanggung jawab atas nama pemilik kapal termasuk operator.
13.
Limbah adalah
sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
14.
Tangki Kapal
adalah ruangan tertutup yang merupakan bagian dari konstruksi tetap kapal yang
dipergunakan untuk menempatkan atau mengangkut cairan dalam bentuk curah
temasuk tangki samping (wing tank), tangki bahan bakar (fuel tank),
tangki tengah (centre tank), tangki air balas (water ballast tank)
atau tangki dasar ganda (double bottom tank), tangki endap (slop tank),
tangki minyak kotor (sludge tank), tangki dalam (deep tank),
tangki bilga (bilge tank), dan tangki yang dipergunakan untuk memuat
bahan cair beracun secara curah.
15.
Pelabuhan
adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau
bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran, dan kegiatan penunjang
pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.
16.
Kepelabuhanan
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk
menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal,
penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan
intra-dan/atau antarmoda, serta mendorong perekonomian nasional dan daerah
dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah.
17.
Unit Kegiatan
Lain adalah pengelola unit pengeboran minyak dan fasilitas penampungan minyak
di perairan.
18.
Syahbandar
adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki
kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap
dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan
dan keamanan pelayaran.
19.
Menteri
adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pelayaran.
Pasal 2
(1)
Penyelenggaraan
perlindungan lingkungan maritim dilakukan oleh Menteri.
(2)
Penyelenggaraan
perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pencegahan dan
penanggulangan pencemaran dari pengoperasian kapal; dan
b. pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari kegiatan
kepelabuhanan.
(3) Selain pencegahan dan
penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perlindungan lingkungan maritim juga dilakukan
terhadap:
a. pembuangan limbah di perairan; dan
b. penutuhan kapal.
BAB II
PENCEGAHAN
DAN PENANGGULANGAN PENCEMARAN
DARI
PENGOPERASIAN KAPAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1)
Setiap awak
kapal wajib mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran lingkungan yang
bersumber dari kapalnya.
(2)
Pencemaran
lingkungan yang bersumber dari kapalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a.
minyak;
b.
bahan cair beracun;
c.
muatan bahan berbahaya dalam bentuk kemasan;
d.
kotoran;
e.
sampah;
f.
udara;
g.
air balas; dan/atau
h.
barang dan bahan berbahaya bagi
lingkungan yang ada di kapal.
i.
Pasal 4
(1) Dalam melakukan pencegahan pencemaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), awak kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku
sijil pada kapal dengan jenis dan ukuran tertentu harus memastikan:
a.
tersedianya
buku catatan minyak untuk ruang mesin dan buku catatan minyak untuk ruang muat
bagi kapal tangki minyak;
b.
tersedianya
tangki penampung minyak kotor dengan baik;
c.
tersedianya
manajemen pembuangan sampah dan bak penampung sampah;
d.
jenis bahan
bakar yang digunakan tidak merusak lapisan ozon;
e.
terpasangnya
peralatan pencegahan pencemaran yang berfungsi dengan baik untuk kapal dengan
ukuran tertentu;
f.
tersedianya
tangki penampungan atau alat penghancur kotoran untuk kapal dengan pelayar 15
(lima belas) orang atau lebih;
g.
tersedianya
sistem pengemasan, penandaan (pelabelan), pendokumentasian yang baik, dan
penempatan muatan sesuai dengan tata cara dan prosedur untuk kapal pengangkut
bahan berbahaya dalam bentuk kemasan;
h.
tersedianya prosedur tetap penanggulangan
pencemaran; dan
i.
tersedianya
bahan kimia pengurai dan alat pelokalisir minyak.
(2)
Dalam
melakukan penanggulangan pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), awak kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku
sijil wajib:
a.
melokalisir minyak dengan
menggunakan alat pelokalisir minyak;
b.
menghisap minyak dengan alat penghisap minyak;
c.
menyerap minyak dengan bahan penyerap;
d.
menguraikan minyak dengan menyiramkan bahan
kimia pengurai yang ramah lingkungan; dan
e.
melaporkan kepada Syahbandar
terdekat dan/atau unsur pemerintah lainnya yang terdekat.
Pasal 5
(1)
Setiap kapal
dilarang melakukan pembuangan limbah dan bahan lain dari pengoperasian kapal ke
perairan.
(2)
Limbah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
sisa minyak
kotor;
b.
sampah; dan
c.
kotoran
manusia.
(3)
Bahan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
air balas;
b.
bahan kimia
berbahaya dan beracun; dan
c.
bahan yang mengandung
zat perusak ozon.
(4)
Limbah dan
bahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditampung di kapal dan
dipindahkan ke fasilitas penampungan yang ada di pelabuhan atau terminal
khusus.
2.4 Upaya-Upaya Meningkatkan
Keselamatan Dan Mengurangi Pencemaran Laut
1. Dibidang Konstruksi dan Perlengkapan
Kapal.
a. Konsep Clean
Ballast.
Menurut survey yang dilakukan IMO
cara terbaik untuk mencegah terjadinya pencemaran laut akibat kegiatan operasi
kapal adalah dengan membuat konstruksi kapal atau melengkapi kapal dengan SBT,
CBT dan COW. Oleh IMO kemudian aturan ini diadopsi menjadi bagian dari Marpol
73/78.
Ketentuan MARPOL 73/78
yang mulai berlaku mulai tanggal 2 Oktober 1983 menetapkan :
Kapal Baru yakni yang dibangun dengan
kontrak pembangunan sesudah 1 Juni 1979 atau keel laying setelah 1 Januari 1980
atau delivery setelah 1 Juni 1982, ditetapkan :
ü Semua Tanker Minyak Crude á 20,000 DWT
harus dilengkapi dengan SBT atau CBT dan COW.
ü Semua Tanker minyak Produk á 30,000
DWT harus dilengkapi dengan SBT.
ü Semua Tanker segala ukuran harus memiliki Oil
Discharge Monitoring.
Catatan
: SBT
= Segragated Ballast Tank.
CBT = Dedicated Clean Ballast Tank.
COW = Crude Oil Washing.
b. Konsep Double
Hull/Double Skin.
Konvensi-konvensi yang terdahulu ternyata
belum dapat memberikan jaminan yang memuaskan terhadap usaha pencegahan
pencemaran yang dinginkan IMO. Kecelakaan kapal Exxon Valdez yang menumpahkan
minyak mentah di laut Alaska tahun 1989 telah membuat Pemerintah Amerika
membuat aturan sepihak melalui “Oil Pollution Act 1990”. Dalam aturan tersebut
semua kapal yang memasuki perairan Amerika harus memakai konstruksi double
hull(lambung ganda).
Oleh IMO kemudian aturan ini diadopsi menjadi
bagian dari Marpol 73/78. Ditetapkan bahwa :
Kapal yang dibangun dengan kontrak setelah 6
Juli 1993 dengan ukuran diatas 5000 DWT harus memakai konstruksi double hull.
Sedangkan kapal tua yang dibangun sebelum tanggal diatas diberi keringanan
dalam waktu lima tahun untuk merubah konstruksi untuk membuat SBT.
Dapat dibayangkan dampak dari
keluarnya aturan ini terhadap kegiatan angkutan laut umumnya, dan Pertamina
khususnya. Membuat kapal dengan lambung ganda tentunya akan menaikkan biaya
pembuatan kapal yang pada gilirannya akan meningkatkan pula biaya angkutan
minyak.
2. Usaha dalam bidang manajemen, melaui ISM Code.
Mengoperasikan kapal niaga khususnya kapal tanker
merupakan kegiatan yang sangat komplek dan khusus karena disamping harus
terikat dengan peraturan nasional harus pula tunduk pada aturan yang sifatnya
internasional, sepanjang sudah diratifikasi oleh negara yang bersangkutan.
Peraturan-peraturan tersebut selalu mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Angka-angka statistik
dari IMO menunjukkan 80% kecelakan kapal adalah bersumber dari kesalahan
manusia, serta 75% ~79 % dari faktor kesalahan tersebut bersumber dari
ketidak tanggapam manajemen terhadap permasalahan dikapal.
Yang sedang dikembangkan saat ini oleh IMO adalah
menciptakan kondisi yang aman melalui sistem manajemen yang mampu menjembatani
kepentingan manajemen kapal dengan kepentingan manajemen darat/kantor. Tentunya
sistem tersebut perlu ditunjang dengan adanya prosedur dan SDM yang mampu
melaksanakan baik secara teknis maupun secara manajerial. Dalam hal ini
diperlukan tindakan yang proaktif dalam arti setiap tindakan/keputusan yang
diambil tentunya sudah mempertimbangkan konsekuensi yang akan timbul secara
luas.
Berangkat dari hasil survey yang dilakukan dan
keinginan untuk melindungi lingkungan secara terpadu maka IMO mengeluarkan satu
lagi peraturan baru yang disebut ISM-Code yang telah ditetapkan menjadi Bab IX
SOLAS 73/78 dan telah ditetapkan berlaku secara internasional mulai 1 Juli
1997.
ISM-Code merupakan perubahan mendasar dalam
manajemen perusahaan yang sudah ada dan merupakan alat untuk menyeragamkan
manajemen pengoperasian kapal secara global. Banyak segi positif dalam
penerapan ISM Code khususnya bagi perusahaan pelayaran terutama mengenai
struktur organisasi yang efisien dan tepat guna. Dengan melaksanakan ISM Code
secara konsekuen akan menjamin armada kapal terpelihara dengan baik, karena
disana diatur pula mengenai prosedur pemeliharaan kapal, dukungan material
serta sistem audit intern maupun ekstern.
Berkaitan dengan bisnis dibidang pelayaran
keberadaan ISM Code dapat dianggap sebagai tantangan untuk meningkatkan kinerja
perusahaan melalui penerapan manajemen operasi yang efisien. Disamping itu
membuka peluang pula untuk meningkatkan daya saing melalui peningkatan
mutu pelayanan. Disamping itu ISM Code juga secara terarah akan membentuk SDM
yang berprilaku proaktif.
Panduan penerapan ISM Code pada kapal-kapal milik
ada pada Buku Pedoman Manajemen Keselamatan yang terdiri atas 2(dua) buku yakni
PSH 100 yang merupakan referensi bagi pekerja di kantor dan PSH 500 sebagai
referensi bagi pekerja awak kapal di kapal.
Salah satu elemen dalam PSH 100 dan PSH 500 adalah
Peraturan Managemen Pemeliharaan Kapal. Peraturan tersebut merupakan panduan
dalam melaksanakan kegiatan di kantor maupun di kapal yang pada hakekatnya
adalah untuk memaksimalkan tingkat keselamatan dikapal dan pencegahan
terjadinya pencemaran oleh kapal. Disana diatur system pemeliharaan kapal
secara terencana karena hanya dengan pemeliharaan kapal yang tertata baik
kondisi layak laut kapal dapat dipertahankan.
Bagi Pertamina penerapan ISM Code bukanlah hal yang
terlalu sulit karena pada dasarnya semua prosedur tertulis dan dokumentasi yang
syaratkan oleh ISM Code tidak jauh berbeda dengan standard operasi dan sistem
dan tata kerja yang telah dimiliki oleh Pertamina Perkapalan. Hanya saja
prosedur yang telah ada tersebut perlu disesuaikan dengan persyaratan ISM Code.
Yang mungkin agak sulit adalah merubah kebiasaan bertindak lebih kearah
proaktif seperti yang diinginkan oleh ISM Code.
Di sisi lain bagi perusahaan adanya ISM Code yang
bersifat mandatori dapat dianggap sebagai cerminan dari citra dan keandalan
perusahaan tersebut. Dengan demikian penerapan ISM Code dapat merupakan satu
competitive advantage bagi perusahaan untuk merebut pasar. Begitu juga terhadap
kapal-kapal tanker swasta yang akan dicharter Pertamina diharuskan pula
menerapkan ISM Code yang dibuktikan dengan seertifikat DOC dan SMC.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lingkungan
maritime yaitu lingkungan suatu negara yang artifisial karena pencemaran yang
terjadi disuatu negara akan dirasakan juga oleh negara yang berbatasan laut.
Tumpahan minyak dari kapal tanker akan mencemari pula perairan negara lain yang
berbatasan. Undang-undang yang mengatur tentang lingkungan maritime yaitu
|
Organisasi yang bergerak di bidang lingkungan
kemaritiman yaitu Organisasi Maritim Internasional (IMO). Organisasi Maritim
Internasional dibentuk pada tahun 1982
bermarkas di London, Britania Raya. Sebelum IMO dibentuk, pada tahun 1948
diadakan konferensi internasional di Jenewa yang menyepakati pembentukan suatu
badan konsultasi maritim antar pemerintahan yang disebut
Inter-Govermental Maritime Consultative Organization, IMCO. Konvensi IMCO
(sekarang IMO) diberlakukan pada tahun 1958 dan Organisasi ini bertemu untuk
pertama kalinya pada tahun 1959. Badan-badan PBB lainnya juga dibentuk termasuk
Badan Pangan dan Pertanian (FAO) berkantor pusat di Roma, Kantor Buruh
Internasional (ILO) dan Organisasi Kesehatan Dunia, keduanya bermarkas di
Jenewa. Kemudian pada tahun 1982 IMCO dirubah namanya menjadi IMO.
Globalisasi
dalam dunia maritim sudah terlihat dari adanya konvensi internasional yang
mengatur persyaratan mengenai pencegahan pencemaran laut dan keselamatan
pelayaran serta standard manajemen operasi perusahaan pelayaran/operator
perkapalan. Hanya dengan memenuhi semua ketentuan tersebut kapal dapat berlayar
diperairan internasional atau memasuki negara lain di dunia. Adanya konvensi
IMO/PBB dalam bentuk MARPOL, SOLAS, STCW-95 dan ISM Code merupakan gambaran
keterkaitan yang tidak dapat ditawar antara keinginan mempertahankan ekologi secara
global dengan kepentingan bisnis.
3.2 Saran
Keamanan laut merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai
warga negara , kita harus ikut berperan serta dalam menjaga keamanan dan
kedaulatan wilayah nkri . Namun yang mempunyai tanggung jawab utama dalam
menjaga keamanan dan pertahanan wilayah negara khususnya bagi nkri yaitu
tentara negara indonesia (tni), khususnya untuk wilayah laut yaitu tni al
. Untuk mengarahkan indonesia sebagai negara kepulauan indonesia untuk menjadi
satu negara maritim, bukan sekedar negara maritim, tapi negara maritim
indonesia yang besar, kuat, dan makmur. Besar sudah jelas, kuat belum, makmur
apalagi. Bicara tentang kuat dan makmur inilah perlu adanya kebijakan yang
tepat untuk membangun negara maritim yang tangguh dalam perspektif politik,
ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan.
DAFTAR PUSTAKA
Pieter .1995. Dasar-Dasar Peraturan Keselamatan Pelayaran dan Pencegahan Pencemaran
Dari Kapal Sesuai Ketentuan IMO. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.
Umar .1997. Perubahan Ekologi.
Yogyakarta.